Indeks

Ramalan Jayabaya dan Indonesia Juara Piala AFF 2022

Tahukah kau apa itu Ramalan Jayabaya? Apakah kau percaya bahwa serat yang digubah Prabu Jayabaya itu menyiratkan Timnas Indonesia juara Piala AFF 2022?

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com

Jakarta, CNN Indonesia

Tahukah kau apa itu Ramalan Jayabaya? Apakah kau percaya bahwa serat yang digubah Prabu Jayabaya itu menyiratkan Timnas Indonesia juara Piala AFF 2022?

Sebelum kau kuhantarkan pada jangka yang diyakini para ilmuwan bersumber dari Kitab Asrar ini, sebaiknya kau cerna silogisme dan kredensial atas peristiwa yang menggubah sepak bola Indonesia.

Bukan apa, ini untuk menghegemoni akal budi, seperti dongeng yang dibaca sebelum tidur. Untuk menegaskan bahwa kemunduran itu sengaja direkayasa. Kini lintang kemukus dari barat telah tiba.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO RESUME CONTENT

+++

Timnas Indonesia itu diciptakan dalam pergolakan gairah besar. Lebih dari sekadar cinta. Timnas Indonesia mungkin tak istimewa, tapi bisa sangat sedap dipandang mata para pemujanya.

Pada 1951, tatkala Timnas Indonesia kali pertama dibentuk, tujuannya tegas. Ini alat propaganda bangsa di pentas dunia. Timnas Indonesia adalah amanat perjuangan Soekarno dan Mohammad Hatta.

Itu mengapa sepak bola jadi anak emas sang proklamator. Timnas Indonesia dikonsep jadi penguasa benua. Tur Asia (1953) dan Eropa Timur (1956) jadi salah satu sarana agar Timnas perkasa.

Setelah Soekarno lengser, paradigmanya berubah. Orang-orang kepercayaan Soekarno, termasuk Maulwi Saelan di PSSI, disingkirkan. Pada 1967 Maulwi diganti Kosasih Poerwanegara, ‘orang dekat’ Soeharto.

Jalan Timnas Indonesia pun miring, mirip kepiting. Rezim Soeharto nyaris melupakan sepak bola. Untuk mengingatkan ‘The Smiling General’ PSSI menggelar Piala Soeharto pada 1972, 1974, dan 1976.

Soeharto akhirnya tumbang pada 1998. ‘The Old Soldier Never Die’ Agum Gumelar menggantikan Azwar Anas pada 1999 yang mundur setelah tragedi sepak bola gajah di Piala AFF 1998.

Selepas Agum pada 2003, negara ‘resmi’ bercerai dengan PSSI. Nurdin Halid, Djohar Arifin Husin, dan La Nyalla Mattalitti jadi tesis: mesin penghancuran PSSI dibuat dengan terbuka dan sadis.

Pada 2014 Joko Widodo (Jokowi) naik takhta. Pesannya kepada Menpora tegas: benahi PSSI! Bak pepatah lama ‘Roma locuta, causa finita’ (Roma bicara, perkara selesai), PSSI dipotong urat nadinya oleh Imam Nahrawi.

FIFA marah. Indonesia diembargo dari dunia internasional. PSSI dan Timnas Indonesia lantas reinkarnasi setelah setahun hibernasi, dengan Edy Rahmayadi sebagai jenderalnya.

Pada era ini pula lahir Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 tahun 2019 tentang Percepatan Persepakbolaan Nasional. Jangankan cepat, jalan di tempat pun kurang tepat. Apa bukti? Tragedi Kanjuruhan.

Kematian 135 jiwa akhirnya memicu Inpres itu baru bisa berjalan; perlahan; pelan; tenang; senyap. Diam.

Itulah silogisme Timnas Indonesia dan PSSI sejak 1951 hingga 2022. Mana kredensialnya? Timnas Indonesia anak emas lagi seperti di era Soekarno. Apa yang diminta Shin Tae Yong dipenuhi PSSI.

Latihan di luar negeri. Naturalisasi. Hotel bintang lima. Carter pesawat. Apalagi? Masih banyak lagi! Ini yang tak didapat skuad Timnas Indonesia lainnya sejak Piala AFF edisi 1996 hingga 2020.

Peta kekuatan kontestan Piala AFF 2022 pun bisa ditakar. Juara bertahan Thailand tidak diperkuat dua pemain kuncinya, Chanathip Songkrasin dan Supachok Sarachat.

Vietnam sebagai tim ASEAN berperingkat terbaik FIFA saat ini sedang di fase kejenuhan bersama Park Hang Seo. Pelatih asal Korea Selatan itu pun sudah menyatakan pergi dari Vietnam pada 2023.

Malaysia mungkin kuda hitam. Sama seperti Shin yang datang ke Indonesia pada 2020, Kim Pan Gon membuat goncangan besar. Saking besarnya, sampai-sampai skuad Harimau Malaya di Piala AFF 2022 disebut Malaysia B.

Bagaimana dengan Singapura, Filipina, Myanmar, dan Kamboja? Di kejuaraan dwitahunan edisi ke-14 ini keempatnya tak cukup modal. Bisa saja ada kejutan, tetapi DNA mereka tak demikian.

Kredensial inilah yang diisyaratkan, dengan meminjam bahasa Ramalan Jayabaya, yang disebut ‘jinejer wolak-waliking zaman’. Kalimat ini terdapat dalam bait ke-159. Begini terjemahannya:

“Selambat-lambatnya kelak menjelang tutup tahun.
Akan ada dewa tampil.
Berbadan manusia.
Berparas seperti Batara Kresna.
Berwatak seperti Baladewa.
Bersenjata trisula wedha.
Tanda datangnya perubahan zaman.
Orang pinjam mengembalikan.
Orang berhutang membayar.
Hutang nyawa bayar nyawa.
Hutang malu dibayar malu.”

Kau bebas menginterpretasikan syair ini, tapi jangan pakai logika. Tak perlu mencari sosoknya. Lihat saja momentumnya. Kisah dari 1951 hingga 2022 sudah cukup kiranya jadi pertanda.

Deretan peristiwa sepak bola nasional selama dua dekade terakhir, itu dinamitnya. Seperti skandal Calciopoli di Italia berujung gelar juara Piala Dunia, Tragedi Kanjuruhan harusnya membangkitkan.

+++

Seperti mitologi, Ramalan Jayabaya adalah angan. Ia hanya akan menjadi nyata jika dikreasi dengan etos kerja plus kecerdasan emosional. Itulah jalan perjuangan. Itulah jalan kemenangan.

Begitu pula sepak bola. Satu tambah satu tak mesti dua. Ia bisa menjadi tiga, lima, tujuh, bahkan nol. Skuad bintang tak jaminan, dominan bukan kunci, dan indah bukan rumus suci.

Layaknya ‘gol tangan Tuhan’ Maradona yang licik itu, Ramalan Jayabaya pun intrik saja. Karenanya dengan sangat percaya diri kukatakan: Timnas Indonesia juara Piala AFF 2022!

Senayan, 22 Desember 2022

(har)







LEBIH BANYAK DARI KOLUMNIS



Sumber: www.cnnindonesia.com

Exit mobile version