Marcus Fernaldi Gideon dan Jalan Terang yang Ditinggalkan

Marcus Fernaldi Gideon memutuskan pensiun dari lapangan bulutangkis dengan sejuta kenangan tentang perjuangan, tentang tangis, dan tentang hasil manis.


Jakarta, CNN Indonesia

Marcus Fernaldi Gideon memutuskan pensiun dari lapangan bulutangkis dengan sejuta kenangan tentang perjuangan, tentang tangis, dan tentang hasil manis.

Setelah Olimpiade Rio de Janeiro 2016, sejatinya Indonesia dalam ancaman kehilangan wajah utama di panggung badminton internasional. Wajah-wajah andalan di periode sebelumnya seperti Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir, Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan, dan Greysia Polii/Nitya Krishinda Maheswari sudah beranjak makin tua.

Meskipun bintang-bintang tersebut kemudian terus menegaskan komitmen untuk tampil hingga Asian Games 2018, ancaman regenerasi yang telat terus mengemuka.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hingga kemudian muncul duet Marcus Fernaldi Gideon/Kevin Sanjaya Sukamuljo. Marcus/Kevin sudah mulai bersinar sejak edisi BWF Tour 2016, namun sukses juara di All England 2017 tetap benar-benar berlabel kejutan.

Makin mengejutkan ketika setelah juara All England, Marcus/Kevin bisa mendominasi ganda putra dengan luar biasa. Bukan satu tahun, melainkan tiga tahun lamanya hingga seri BWF Tour 2019.

Demam ‘Minions’ kemudian melanda. Gelombang baru penggemar bulutangkis hadir menerpa.

Orang-orang yang menyukai gaya main Minions yang cepat dan eksplosif, hadir menyemarakkan dan meningkatkan kuantitas penggemar aktif olahraga bulutangkis di Indonesia. Kevin/Marcus benar-benar atraktif di lapangan.

Mereka bergerak lincah, penuh semangat, dan tak pernah gentar menghadapi lawan di seberang lapangan. Gaya main mereka makin menarik lantaran menampilkan gimmick-gimmick kecil yang membuat penonton ikut antusias sepanjang laga berjalan.

Gelombang baru penggemar-penggemar badminton ini kemudian mencapai klimaks di Asian Games 2018 saat Marcus/Kevin, bersama Jonatan Christie, meraih emas Asian Games.




Marcus Fernaldi Gideon mengalami banyak tantangan sepanjang kariernya. (ANTARA FOTO/SIGID KURNIAWAN)

Ada tangis haru yang hadir dari sudut-sudut mata Marcus Fernaldi Gideon saat memastikan emas Asian Games. Tangis yang menggembarkan kegembiraan dirinya telah sukses mengharumkan nama Indonesia dan tangis yang juga jadi refleksi perjuangan penuh liku Marcus untuk sampai ke level tertinggi di dunia.

Selain jadi magnet bagi kehadiran pendukung-pendukung baru pada periode 2017-2019, Marcus/Kevin juga jadi tulang punggung prestasi Indonesia dalam periode tersebut.

Di tiap turnamen yang diikuti, Marcus/Kevin bakal berangkat dengan label ‘wajib juara’.

Sebagai gambaran dominasi kuat Minions di 2017-2019, ada masa ketika Marcus/Kevin jadi juara hal itu sudah dianggap biasa. Situasi dianggap luar biasa justru ketika Marcus/Kevin gagal juara.

Untuk bisa meroket dan jadi pebulutangkis nomor satu dunia di usia 26 tahun, perjalanan penuh liku ditempuh oleh Marcus Gideon.

Lahir dari keluarga bulutangkis, ayahnya adalah Kurniahu yang merupakan mantan pemain dan pelatih kawakan di Indonesia, Marcus tumbuh dengan ekspektasi tinggi untuk berprestasi di dunia badminton.




Kevin Sanjaya/Marcus Fernaldi Gideon juara All England 2017Kevin/Marcus melejit sejak jadi juara All England 2017. (Dok. PBSI)

Semasa junior, Marcus meniti karier di nomor tunggal dan ganda. Meski cukup kompetitif di nomor tunggal, Marcus akhirnya memutuskan berkonsentrasi di nomor ganda.

Di masa awal ia bergabung dengan Pelatnas Cipayung, Marcus termasuk salah satu pemain muda yang potensial. Karena itu ketika ia diduetkan dengan Agripinna Prima yang juga punya potensi besar, ada harapan ganda tersebut bisa bersinar.

Namun perjalanan Marcus kemudian menjadi tidak mulus. Ia kecewa dengan keputusan pelatih Herry Iman Pierngadi lalu keluar dari Pelatnas Cipayung.

Di luar Pelatnas Cipayung, jalan lebih berliku. Ia harus berjuang menyusun skema pemberangkatan turnamen dan hal-hal detail lainnya, bukan hanya sekadar fokus berlatih dan bertanding.

Namun pengalaman di luar Pelatnas Cipayung bersama sejumlah pemain, terutama bersama Markis Kido, menempa Marcus Fernaldi Gideon menjadi sosok pemain yang lebih matang.

Marcus Fernaldi Gideon memilih menurunkan egonya untuk kembali masuk ke Pelatnas Cipayung. Ia sadar bahwa kesalahan di masa lalu tidak semestinya terus menentukan jalan di masa depan.

Ketika ada hal yang masih bisa diperbaiki, hal itulah yang mutlak harus dilakukan. Jalan itulah yang ditempuh oleh Marcus Gideon ketika memutuskan kembali ke Pelatnas Cipayung.




Indonesia's Kevin Sanjaya Sukamuljo (R) and Marcus Fernaldi Gideon pose with their medals after winning the final of the men's doubles during the Dubai Badminton World Superseries Finals on December 17, 2017, in Dubai.
GIUSEPPE CACACE / AFPMarcus/Kevin bergelimang prestasi sejak 2017 dan menguasai BWF Tour. (AFP / GIUSEPPE CACACE)

Marcus tidak lagi meledak-ledak dan emosional saat mengambil keputusan, seperti saat ia kecewa dan keluar dari Cipayung. Marcus jadi pemain dengan pembawaan lebih kalem dan tenang.

Sifat meledak-ledak Marcus tetap bertahan, namun itu hanya ia tampilkan di lapangan. Semangat juang Marcus Gideon adalah semangat juang yang bisa jadi salah satu pedoman dasar semangat juang atlet-atlet Indonesia di lapangan.

Di balik gemerlap prestasi Marcus Fernaldi Gideon, tentu ada hal-hal yang disayangkan dan disesalkan oleh penggemar, yaitu ketiadaan medali di Olimpiade maupun Kejuaraan Dunia. Namun hal tersebut tidak bisa mengecilkan peran besar Marcus bersama Kevin sebagai sumber munculnya gelombang baru penggemar bulutangkis Indonesia sejak tujuh tahun ke belakang.

Minions adalah sosok yang turut menyangga animo publik terhadap bulutangkis Indonesia tetap tinggi. Membuat publik sadar bahwa badminton adalah olahraga yang punya tradisi kuat di negeri ini.

Marcus Fernaldi Gideon adalah perwujudan pahit manis karier seorang atlet. Kariernya sempat dinilai hampir habis namun kemudian bisa kembali jadi salah satu pemain yang punya deret prestasi manis.

Selamat menempuh perjalanan baru, Marcus Fernaldi Gideon!

 

[Gambas:Video CNN]

(nva)



Sumber: www.cnnindonesia.com